Rabu, 08 Oktober 2025

Efektifitas Ormas Paska Kemerdekaan RI

 

Jurnal Ilmiah Reflektif


Efektivitas Ormas sebagai Sarana Dakwah di Era Digital dan Society 5.0: Sebuah Refleksi pada Usia 80 Tahun Kemerdekaan RI

Oleh: Abdul Rosyid, S.Ag., M.M.
Dosen PAI Politeknik LPP Yogyakarta
Tahun: 2025/2026


Abstrak

Refleksi menuju usia ke-80 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia menghadirkan momentum penting untuk menilai kembali efektivitas organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam sebagai sarana dakwah. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan memasuki era Society 5.0, ormas dituntut bukan hanya menjadi wadah sosial-keagamaan, tetapi juga motor penggerak transformasi spiritual berbasis teknologi. Tulisan ini menelaah bagaimana peran, strategi, dan relevansi ormas Islam dalam mengoptimalkan dakwah di ruang digital dengan tetap menjaga ruh keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.


Pendahuluan

Sejak awal kemerdekaan, ormas Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan berbagai lembaga keislaman lainnya telah memainkan peranan vital dalam pembangunan karakter bangsa. Namun, memasuki era digital dan Society 5.0, paradigma dakwah mengalami pergeseran signifikan: dari ruang fisik menuju ruang maya (cyber space). Dakwah kini bukan sekadar ceramah dan tabligh, melainkan juga strategi komunikasi digital, literasi keislaman, dan pembentukan digital community of faith.

Usia 80 tahun kemerdekaan Indonesia menjadi simbol kedewasaan bangsa yang kini menghadapi tantangan baru: menjaga nilai-nilai keislaman di tengah derasnya informasi, arus globalisasi, dan ideologi transnasional.


Tinjauan Pustaka dan Kerangka Konseptual

  1. Dakwah dan Ormas
    Dakwah adalah ajakan menuju kebaikan yang disampaikan melalui berbagai media. Ormas merupakan instrumen sosial yang menyalurkan aspirasi keagamaan dan kemasyarakatan secara kolektif.

  2. Era Digital dan Society 5.0
    Konsep Society 5.0 berasal dari Jepang, menggambarkan masyarakat super cerdas yang memadukan dunia nyata dan dunia digital. Dalam konteks dakwah, hal ini berarti penyebaran nilai Islam melalui kecerdasan buatan, big data, media sosial, dan smart systems.

  3. Efektivitas Dakwah Ormas
    Efektivitas dakwah ormas diukur melalui kemampuan adaptasi, inovasi teknologi, dan konsistensi penyampaian pesan moral yang rahmatan lil ‘alamin.


Pembahasan

1. Transformasi Peran Ormas di Era Digital

Ormas tidak lagi cukup bergerak dalam kegiatan tradisional seperti pengajian atau bakti sosial. Dakwah digital melalui YouTube, Instagram, TikTok, dan podcast menjadi jembatan efektif antara ulama dan umat.
Banyak ormas telah mengembangkan e-learning dakwah, kanal dakwah digital, hingga cyber fatwa untuk menjawab persoalan kekinian.

2. Sinergi Ormas dan Pemerintah

Pemerintah membutuhkan ormas sebagai mitra strategis dalam pembinaan moral dan literasi digital umat. Kolaborasi antara Kementerian Agama, Kominfo, dan ormas Islam dapat menciptakan ekosistem dakwah moderat digital yang berakar pada nilai Pancasila dan Islam wasathiyah.

3. Tantangan: Fitnah Digital dan Polarisasi Umat

Dunia digital membuka ruang luas bagi penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah berbasis agama. Inilah tantangan bagi ormas untuk tampil sebagai penjernih, bukan penyulut konflik.
Dakwah yang beretika, berbasis ilmu, dan terverifikasi menjadi kunci efektivitasnya.

4. Strategi Dakwah Ormas di Society 5.0

  • Membangun content creator dakwah di bawah naungan lembaga resmi.
  • Mengintegrasikan nilai Islam dalam teknologi pendidikan dan ekonomi digital umat.
  • Memanfaatkan big data dakwah untuk memetakan kebutuhan spiritual masyarakat.
  • Mengembangkan AI Dakwah Assistant berbasis nilai-nilai Qur’ani.

5. Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan: Ormas dan Cita-Cita Nasional

Dakwah ormas di era digital bukan hanya bentuk ibadah, tetapi juga kontribusi terhadap tujuan nasional: mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan masyarakat adil makmur.
Jika ormas mampu menjadi pelopor dakwah produktif dan profesional, maka semangat “merdeka” akan bermakna lebih luas: kemerdekaan berpikir, berakhlak, dan berteknologi.


Kesimpulan

Efektivitas ormas sebagai sarana dakwah di era digital dan Society 5.0 sangat bergantung pada kemampuan adaptasi terhadap perubahan zaman tanpa kehilangan esensi spiritualitas Islam.
Refleksi 80 tahun kemerdekaan menegaskan pentingnya dakwah yang cerdas, santun, dan kolaboratif agar Islam benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam — dalam dunia nyata maupun maya.


Rekomendasi

  1. Pemerintah perlu memberikan pelatihan literasi digital bagi aktivis ormas.
  2. Ormas hendaknya membuat pusat riset dakwah digital.
  3. Perguruan tinggi Islam dapat menjadi mitra ormas dalam pengembangan AI Dakwah.
  4. Umat perlu didorong untuk menjadi digital da’i yang beretika dan berkompeten.

Daftar Pustaka

  • Al-Qur’an al-Karim.
  • Kementerian Kominfo RI. (2024). Peta Jalan Transformasi Digital Nasional 2024–2030.
  • Kemenag RI. (2023). Dakwah Moderat di Era Digital.
  • Fukuyama, M. (2018). Society 5.0: Human-Centered Future Society. Tokyo: Keidanren.
  • Rosyid, A. (2025). Paradigma Baru Komunitas di Era Digital. Yogyakarta: Politeknik LPP Press.


IA sbg Ujian di Akhir Jaman

 

Jurnal


AI sebagai Ujian Akhir Zaman: Antara Fitnah dan Rahmat

Oleh: Abdul Rosyid, S.Ag., M.M.
Politeknik LPP Yogyakarta, 2025/2026


Abstrak

Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence / AI) merupakan fenomena besar abad ke-21 yang membawa dampak revolusioner terhadap kehidupan manusia. Namun, di sisi spiritual dan moral, AI dapat dipandang sebagai “puncak zaman penuh fitnah dan tipu muslihat” apabila disalahgunakan. Artikel ini mengkaji AI sebagai ujian akhir zaman dari perspektif Islam, sosial, dan etika, serta menunjukkan bahwa AI bukanlah ancaman mutlak, melainkan ujian moral yang menuntut kebijaksanaan iman dan ilmu. Dengan pendekatan analitis dan reflektif, tulisan ini menegaskan perlunya integrasi nilai-nilai keislaman dalam pengembangan dan penggunaan AI agar menjadi rahmat, bukan fitnah bagi umat manusia.

Kata kunci: Kecerdasan Buatan, Fitnah Akhir Zaman, Etika Islam, Teknologi, Dakwah Digital


Pendahuluan

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan merupakan bukti nyata dari kemajuan akal budi manusia. Namun, kemajuan ini juga membawa dampak sosial, psikologis, bahkan spiritual yang luar biasa besar. Banyak kalangan berpendapat bahwa AI adalah tanda zaman modern yang penuh fitnah — karena mampu menipu, memanipulasi, dan bahkan menggeser peran manusia. Dalam Al-Qur’an, Allah telah memperingatkan bahwa setiap kemajuan yang tidak disertai iman akan menjadi ujian bagi manusia:

“Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar?” (QS. Al-Furqan: 20)

AI menjadi cobaan bagi manusia, apakah ia mampu menggunakannya untuk kebaikan (rahmah) atau justru untuk keburukan (fitnah).


Kajian Teoretis

1. AI dalam Perspektif Ilmiah

AI merupakan hasil dari logika matematika, algoritma, dan pembelajaran mesin yang meniru cara berpikir manusia. Dalam dunia modern, AI digunakan untuk efisiensi industri, pendidikan, dan pemerintahan. Namun, di sisi lain, AI juga berpotensi mengancam nilai kemanusiaan, karena:

  • Menggantikan fungsi manusia secara ekstrem,
  • Menyebarkan informasi palsu (deepfake, hoax),
  • Menciptakan ketergantungan digital yang melemahkan nalar kritis dan spiritualitas.

2. AI dalam Perspektif Islam

Dalam Islam, kecerdasan hakiki bersumber dari ‘aql yang disinari wahyu. Akal yang lepas dari petunjuk Allah akan menyesatkan. Nabi ﷺ telah mengingatkan bahwa menjelang akhir zaman, akan banyak muncul tipu daya dan fitnah yang membuat orang berilmu pun keliru. Maka AI, bila tidak dikawal oleh iman dan amanah, dapat menjadi alat fitnah global.

“Fitnah itu akan datang seperti malam yang gelap gulita...” (HR. Muslim)

3. AI sebagai Amanah dan Rahmat

Jika diarahkan dengan nilai-nilai Islam, AI justru menjadi rahmat besar. Contohnya:

  • Dakwah digital yang menjangkau seluruh dunia,
  • Pendidikan Islam berbasis teknologi,
  • Pengelolaan zakat, wakaf, dan sedekah secara transparan,
  • Inovasi sosial berbasis nilai kemaslahatan.
    Dengan demikian, AI adalah alat ujian, bukan musuh. Ia dapat menjadi rahmat jika dikendalikan oleh orang-orang yang beriman dan berilmu.

Analisis dan Pembahasan

  1. AI sebagai Fitnah (Ujian Moral dan Spiritualitas)
    AI dapat memperlihatkan sisi gelap manusia: keserakahan, manipulasi, dan penciptaan “dunia semu”. Banyak yang tertipu oleh citra digital tanpa menyadari kehampaan moral di baliknya. Inilah bentuk “tipu muslihat” modern yang disebut dalam Al-Qur’an:

“Janganlah kehidupan dunia menipu kamu, dan jangan pula penipu (setan) memperdaya kamu tentang Allah.” (QS. Luqman: 33)

  1. AI sebagai Rahmat (Alat Ilmu dan Dakwah)
    Sebaliknya, AI juga bisa menjadi sarana dakwah bil hal. Misalnya:
    • Pembuatan konten edukasi Islam berbasis AI,
    • Digitalisasi tafsir dan hadis,
    • Asisten belajar Al-Qur’an dan bahasa Arab,
    • Sistem cerdas pengelolaan amal sosial umat.
      Jika nilai tauhid dan akhlaq menjadi pondasi, AI justru memperluas manfaat dakwah Islam rahmatan lil ‘aalamiin.

Kesimpulan

AI adalah puncak zaman modern yang membawa dua sisi: fitnah dan rahmat. Ia menjadi fitnah bila digunakan tanpa iman dan akhlak, namun menjadi rahmat bila dimanfaatkan untuk kebaikan, ilmu, dan dakwah. Islam memberikan pedoman agar manusia tetap menjadi khalifah, bukan budak teknologi. Maka, tugas umat Islam adalah menguasai AI dengan ruh iman dan ilmu, agar kemajuan teknologi menjadi wasilah menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.


Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’an al-Karim.
  2. Hadis Shahih Muslim dan Bukhari tentang fitnah akhir zaman.
  3. Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin.
  4. Yusuf al-Qaradawi, Islam dan Tantangan Modernitas.
  5. Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies.
  6. Abdul Rosyid, S.Ag., M.M. (2025). Islam sebagai Sub Sistem Pendidikan di Politeknik. Jurnal Ilmiah PAI Terapan.


Senin, 22 September 2025

Antara Otak Palsu dan Asli serta efek jangka panjangnya

 Perbandingan antara Otak Tiruan dengan Otak Asli: Tinjauan Kritis Pengaruh Jangka Panjang dan Antisipasinya


Oleh: Abdul Rosyid Ahmad Dj


Abstrak


Perkembangan teknologi neuromorfik dan kecerdasan buatan (AI) telah melahirkan konsep "otak tiruan" yang diklaim dapat menyerupai fungsi otak biologis. Jurnal ini melakukan tinjauan kritis dengan membandingkan efisiensi energi, arsitektur pemrosesan informasi, ketahanan, dan dampak neurologis jangka panjang dari interaksi manusia dengan teknologi ini. Analisis menunjukkan bahwa meskipun otak tiruan unggul dalam kecepatan pemrosesan data terstruktur, otak asli tetap lebih efisien energi, adaptif, dan kompleks dalam hal kognisi integratif. Tinjauan ini juga mengidentifikasi risiko jangka panjang seperti "brain rot" (pembusukan otak) akibat paparan berlebihan terhadap konten digital instan, serta tantangan etika neuroteknologi seperti privasi pikiran. Sebagai antisipasi, diperlukan pendekatan pendidikan yang menekankan literasi digital, neuroetika, serta keseimbangan antara pemanfaatan teknologi dan pelestarian fungsi kognitif alamiah. Langkah regulasi yang proaktif juga penting untuk memastikan perkembangan otak tiruan yang bertanggung jawab dan berpusat pada manusia.


Kata Kunci: Otak Asli, Otak Tiruan, Kecerdasan Buatan (AI), Brain Rot, Neuroetika, Pendidikan Literasi Digital.


---


Pendahuluan


Otak manusia sebagai anugerah biologis telah lama menjadi misteri sekaligus kekaguman dalam dunia ilmu pengetahuan. Sebagai pusat kendali, otak manusia mengatur hampir semua fungsi tubuh dengan efisiensi energi yang luar biasa . Namun, di era digital yang semakin maju, manusia berusaha menciptakan replikasi kecerdasannya dalam bentuk otak tiruan—sebuah entitas yang diwujudkan melalui sistem kecerdasan buatan (AI) dan antarmuka otak-komputer (brain-computer interface/BCI) . Ambisi untuk menyatukan otak biologis dengan mesin, seperti yang diusung oleh perusahaan Neuralink, membawa serta janji transformatif di bidang kesehatan, sekaligus tantangan filosofis dan etika yang mendalam .


Jurnal ini bertujuan untuk melakukan perbandingan kritis antara otak asli dan otak tiruan, dengan fokus pada dampak jangka panjang interaksi keduanya terhadap fungsi kognitif manusia. Pertanyaan mendasar yang ingin dijawab adalah: Bagaimana perbandingan mendasar antara kemampuan otak asli dan otak tiruan, serta langkah-langkah antisipasi apa yang diperlukan untuk memitigasi dampak negatifnya pada pendidikan dan masyarakat? Melalui tinjauan ini, diharapkan dapat diperoleh perspektif yang seimbang untuk mengarahkan perkembangan teknologi neuromorfik yang berkelanjutan dan manusiawi.


Tinjauan Teoritis


1. Arsitektur dan Cara Kerja Otak Asli


Otak manusia adalah organ kompleks yang berisi sekitar 86 miliar neuron . Jaringan saraf ini saling terhubung dalam pola yang dinamis, membentuk sirkuit yang memungkinkan pemrosesan informasi secara paralel dan terdistribusi. Beberapa karakteristik utamanya adalah:


· Neuroplastisitas: Kemampuan otak untuk mengatur ulang dan membentuk koneksi saraf baru sepanjang hidup sebagai respons terhadap pembelajaran dan pengalaman . Proses ini mendasari kemampuan belajar dan daya ingat.

· Pemrosesan Terintegrasi: Otak memproses informasi secara holistik, menggabungkan input sensorik, memori, emosi, dan kondisi fisiologis untuk menghasilkan pemikiran dan tindakan . Misalnya, lobus frontal terkait dengan fungsi eksekutif seperti pengendalian diri dan penalaran abstrak, sementara hipokampus berperan penting dalam pembentukan memori jangka panjang .

· Efisiensi Energi yang Tinggi: Otak hanya mengonsumsi daya sekitar 12 watt—setara dengan bola lampu kecil—untuk menjalankan fungsi-fungsi kompleksnya . Ini merupakan efisiensi yang sangat tinggi dibandingkan dengan sistem komputasi modern.


2. Konsep dan Perkembangan Otak Tiruan


Otak tiruan dalam konteks ini merujuk pada sistem komputasi yang terinspirasi oleh atau dimaksudkan untuk meniru fungsi otak, mulai dari AI generatif seperti GPT hingga antarmuka otak-komputer (BCI) . Perkembangannya ditandai oleh:


· Antarmuka Otak-Komputer (BCI): Teknologi seperti Neuralink menggunakan ribuan elektroda untuk merekam dan menstimulasi aktivitas neuron, dengan tujuan awal membantu penyandang disabilitas seperti kelumpuhan .

· Kecerdasan Buatan Skala Besar: Model AI seperti GPT-3 dilatih menggunakan data dalam jumlah masif. Namun, proses pelatihan ini membutuhkan energi yang sangat besar, mencapai 1,3 gigawatt-jam, yang kontras tajam dengan efisiensi otak biologis .

· Batasan Fungsional: Meskipun canggih, otak tiruan saat ini tidak dapat "membaca pikiran". Kemampuannya sangat terbatas karena pemahaman ilmu saraf tentang bagaimana pikiran disimpan masih dalam tahap awal .


Metodologi


Studi ini menggunakan metode kajian pustaka sistematis (systematic literature review) dengan pendekatan kualitatif. Sumber data primer berasal dari artikel ilmiah, laporan penelitian, dan publikasi terpercaya yang membahas neurosains, kecerdasan buatan, dan dampak teknologi digital, yang diidentifikasi melalui hasil penelusuran terkini. Analisis data dilakukan secara tematik dengan mengelompokkan temuan ke dalam tema-tema kunci seperti efisiensi energi, dampak kognitif, dan tantangan etika untuk kemudian dibahas secara kritis.


Pembahasan


1. Perbandingan Kritis: Otak Asli vs. Otak Tiruan


Tabel berikut meringkas perbandingan mendasar antara kedua entitas:


Aspek Perbandingan Otak Asli (Biologis) Otak Tiruan (AI/BCI)

Konsumsi Energi Sangat efisien (sekitar 12 watt)  Sangat boros (contoh: pelatihan GPT-3 ~1.3 GWh) 

Arsitektur Pemrosesan Paralel, terintegrasi, dan neuroplastis  Seringkali linier, bergantung pada data dan algoritma tertentu

Pembelajaran & Adaptasi Berpengalaman, kontekstual, dan berbasis sensorik lengkap  Bergantung pada kualitas dan kuantitas data latih

Kreativitas & Intuisi Tinggi, mampu menghasilkan ide orisinal Terbatas pada pola dalam data yang ada (korelasi, bukan sebab-akibat)

Ketahanan & Perbaikan Diri Memiliki mekanisme perbaikan DNA dan plastisitas  Rentan terhadap error dan bug; tidak dapat memperbaiki diri secara biologis


Dari tabel terlihat bahwa keunggulan otak tiruan terletak pada kecepatan komputasi dan kapasitas penyimpanan data terstruktur. Namun, otak asli tetap unggul dalam hal efisiensi energi, kreativitas, pemahaman kontekstual, dan adaptasi dalam situasi baru yang tidak terduga.


2. Dampak Jangka Panjang Interaksi dengan Teknologi "Seperti-Otak"


Interaksi intensif dengan teknologi digital dan otak tiruan dapat memengaruhi otak asli dalam jangka panjang. Dampak yang perlu diwaspadai adalah:


· Gangguan Fungsi Kognitif dan "Brain Rot": Paparan berlebihan terhadap konten digital yang cepat, instan, dan tidak menantang (seperti scrolling media sosial tanpa henti) dapat menyebabkan fenomena yang disebut "brain rot" atau "pembusukan otak" . Istilah ini menggambarkan kemerosotan kondisi mental dan intelektual, yang ditandai dengan :

  · Berkurangnya rentang perhatian dan sulit fokus pada tugas-tugas yang membutuhkan pemikiran mendalam.

  · Kedangkalan berpikir dan menurunnya kemampuan berpikir kritis.

  · Gangguan pada memori kerja, yang menghambat proses transfer informasi ke memori jangka panjang .

· Perubahan Struktural pada Otak: Sebuah studi di Korea Selatan (2022) menemukan bahwa penggunaan smartphone yang berlebihan dapat menyebabkan perubahan struktur otak yang mirip dengan yang terlihat pada gangguan kecanduan . Hal ini menunjukkan bahwa dampaknya bukan hanya fungsional, tetapi juga biologis.

· Dilema Etika dan Sosial (Neuroetika): Perkembangan BCI melahirkan bidang baru yaitu neuroetika, yang mempertanyakan :

  · Privasi Pikiran: Bagaimana jika data pikiran seseorang dapat diakses oleh pihak lain?

  · Kesenjangan Sosial: Apakah akses terhadap teknologi penguatan kognitif akan memperlebar ketimpangan?

  · Identitas Manusia: Sejauh mana integrasi manusia-mesin dapat mengaburkan batas antara yang alami dan buatan?


3. Strategi Antisipasi untuk Masa Depan


Menghadapi tantangan di atas, diperlukan langkah-langkah antisipatif yang terintegrasi:


· Pendidikan dan Literasi Digital yang Kritis:

  · Kurikulum pendidikan harus memasukkan materi tentang literasi digital yang tidak hanya terfokus pada keterampilan menggunakan teknologi, tetapi juga pada pemahaman tentang dampaknya terhadap otak dan kesehatan mental.

  · Siswa perlu dilatih untuk memiliki kesadaran diri (mindfulness) dalam menggunakan teknologi, mampu menetapkan batas waktu, dan mengenali tanda-tanda kelelahan mental .

· Mendorong Keseimbangan dan "Detoks Digital":

  · Masyarakat perlu didorong untuk melakukan detoks digital secara berkala dengan berolahraga, menghabiskan waktu di alam, membaca buku fisik, dan memperkuat interaksi sosial langsung . Aktivitas ini merangsang otak dengan cara yang berbeda dan lebih alami, membantu memulihkan fungsi kognitif.

· Regulasi dan Kerangka Etika yang Proaktif:

  · Perlu dikembangkan kerangka regulasi yang ketat terkait privasi data neural dan pengujian teknologi BCI .

  · Institusi pemerintah dan independen harus terlibat dalam mengawasi perkembangan teknologi ini untuk memastikan keamanan dan kesetaraan akses.

· Penelitian Lanjutan tentang Interaksi Manusia-Teknologi:

  · Diperlukan lebih banyak penelitian interdisipliner antara neurosains, ilmu komputer, dan psikologi untuk memahami secara lebih komprehensif dampak jangka panjang interaksi dengan otak tiruan.


Kesimpulan dan Saran


Perbandingan kritis antara otak asli dan otak tiruan menunjukkan bahwa masing-masing memiliki keunggulan di domainnya sendiri. Otak asli tetap merupakan contoh efisiensi energi, adaptasi, dan kompleksitas kognitif yang tak tertandingi. Sementara itu, otak tiruan menawarkan alat bantu yang powerful untuk tugas-tugas komputasi spesifik. Namun, interaksi yang tidak bijaksana dengan teknologi digital berpotensi mengikis keunggulan alami otak manusia, yang termanifestasi dalam fenomena seperti brain rot.


Ke depan, kemajuan umat manusia tidak boleh diukur hanya dari kecanggihan teknologi otak tiruan yang diciptakannya, tetapi juga dari kemampuannya untuk melindungi dan memelihara keutuhan fungsi kognitif otak asli. Strategi antisipasi melalui pendidikan, regulasi, dan gaya hidup yang seimbang adalah kunci untuk mencapai simbiosis yang harmonis antara manusia dan teknologinya.


---


Daftar Pustaka


1. Wikipedia Indonesia. Otak Manusia. https://id.wikipedia.org/wiki/Otak_manusia 

2. Detik Edu. Ingatan Jangka Panjang Terbentuk dengan Merusak Sel Otak, Mengapa? Begini Studinya. (2024). https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7313299/ingatan-jangka-panjang-terbentuk-dengan-merusak-sel-otak-mengapa-begini-studinya 

3. DW Indonesia. Apa yang Sebenarnya Bisa Dilakukan Brain Chip?. (2023). https://www.dw.com/id/apa-yang-sebenarnya-bisa-dilakukan-brain-chip/a-65243973 

4. Facebook. Otak Manusia Hanya Guna 12 Watt Tapi Kalahkan Superkomputer. https://www.facebook.com/amelia.zetty.2025/posts/otak-manusia-hanya-guna-12-watt-tapi-kalahkan-superkomputersetiap-saat-sejak-lah/122243388410035340/ 

5. Amanat.id. Pembusukan Otak Akibat Terjebak Scrolling Tanpa Akhir. https://amanat.id/pembusukan-otak-akibat-terjebak-scrolling-tanpa-akhir/ 

6. Alodokter. Sering Lupa Sesaat? Mungkin Kamu Mengalami Brain Fog. (2024). https://www.alodokter.com/sering-lupa-sesaat-mungkin-kamu-mengalami-brain-fog 

7. Nalars Jurnal. Penataan Kota Bermuatan Antisipasi Bencana. (2011). https://jurnal.umj.ac.id/index.php/nalars/article/view/597 

8. REFO Indonesia. Brain Rot: Ketika Otak Kita Lelah oleh Konten Digital. https://www.refoindonesia.com/brain-rot-ketika-otak-kita-lelah-oleh-konten-digital


Wallahu A'lam Bis Showab

Yogyakarta, 23 September 2025 

Rabu, 17 September 2025

Sistim Sosial Dalam Islam

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim


SISTEM SOSIAL DALAM ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA DI MASYARAKAT HETEROGEN DAN PLURAL

Oleh: Abdul Rosyid, S.Ag., MM.


Abstrak

Sistem sosial dalam Islam merupakan tata aturan dan nilai-nilai yang mengatur hubungan antarindividu, keluarga, kelompok, dan masyarakat, dengan berlandaskan pada prinsip tauhid, keadilan, musyawarah, dan ukhuwah. Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal, bukan untuk bermusuhan. Dalam konteks masyarakat heterogen dan plural, sistem sosial Islam mengedepankan nilai inklusivitas, toleransi, dan penghargaan terhadap perbedaan, baik etnis, budaya, maupun agama. Makalah ini membahas landasan normatif sistem sosial Islam, prinsip-prinsip utamanya, serta implementasinya dalam kehidupan sosial masyarakat modern yang pluralistik, dengan studi kasus masyarakat Indonesia.

Kata kunci: sistem sosial, Islam, pluralisme, masyarakat heterogen, ukhuwah.


Pendahuluan

Masyarakat adalah kesatuan hidup yang memiliki keterikatan nilai, norma, dan sistem sosial. Dalam masyarakat modern, terutama di Indonesia yang multikultural dan multiagama, dibutuhkan sistem sosial yang mampu menjaga kerukunan, keadilan, dan kesejahteraan. Islam, sebagai agama rahmatan lil-‘alamin, menawarkan sistem sosial yang bersifat universal, humanis, dan relevan untuk semua zaman.

Tujuan makalah ini adalah untuk menjelaskan konsep sistem sosial dalam Islam, prinsip-prinsip yang melandasinya, serta bagaimana konsep tersebut diimplementasikan dalam masyarakat heterogen dan plural.


Landasan Teoretis dan Normatif

1. Landasan Teologis

  • Al-Qur’an: QS. Al-Hujurat [49]: 13 tentang keberagaman bangsa dan suku.
  • Hadis Nabi: “Tidak beriman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari-Muslim).
  • Konsep rahmatan lil-‘alamin (QS. Al-Anbiya [21]: 107).

2. Prinsip-Prinsip Sistem Sosial Islam

  • Tauhid: Memandang kesetaraan manusia di hadapan Allah.
  • Keadilan (‘adl): Menegakkan kebenaran tanpa diskriminasi.
  • Musyawarah (syura): Mengutamakan partisipasi dalam pengambilan keputusan.
  • Ukhuwah: Persaudaraan universal; ukhuwah islamiyah, wathaniyah, dan insaniyah.
  • Toleransi (tasamuh): Menghormati perbedaan keyakinan dan budaya.

Implementasi Sistem Sosial Islam di Masyarakat Heterogen dan Plural

  1. Bidang Sosial-Keagamaan

    • Dialog antaragama untuk menciptakan harmoni.
    • Gerakan moderasi beragama.
    • Penerapan nilai tasamuh dan ukhuwah basyariyah.
  2. Bidang Politik dan Pemerintahan

    • Demokrasi partisipatif selaras dengan prinsip syura.
    • Perlindungan hak minoritas.
    • Kebijakan publik yang berkeadilan sosial.
  3. Bidang Ekonomi dan Kesejahteraan

    • Zakat, infak, sedekah sebagai instrumen redistribusi ekonomi.
    • Sistem ekonomi berbasis keadilan dan keberkahan.
    • Pengembangan ekonomi kreatif berbasis komunitas lintas etnis dan agama.
  4. Bidang Pendidikan dan Budaya

    • Pendidikan multikultural dengan nilai-nilai Islam.
    • Pelestarian budaya lokal sebagai bagian dari khazanah umat.
    • Internalisasi karakter rahmatan lil-‘alamin dalam kurikulum.

Studi Kasus: Indonesia sebagai Masyarakat Plural

Indonesia memiliki lebih dari 1.300 suku bangsa dan enam agama resmi. Implementasi sistem sosial Islam terlihat dari:

  • Peran ormas Islam (NU, Muhammadiyah, dll.) dalam menjaga toleransi.
  • Gotong royong lintas agama dalam bencana.
  • Kehidupan sosial di desa dan kota yang menampilkan praktik moderasi Islam.
    Meskipun demikian, masih ada tantangan berupa intoleransi, diskriminasi, dan politisasi identitas yang perlu diatasi dengan pendekatan inklusif.

Kesimpulan

Sistem sosial dalam Islam memiliki prinsip yang universal dan relevan untuk masyarakat heterogen. Nilai tauhid, keadilan, musyawarah, ukhuwah, dan toleransi dapat menjadi dasar terciptanya masyarakat yang damai, adil, dan sejahtera. Implementasinya di Indonesia menunjukkan adanya kontribusi besar Islam dalam membangun harmoni sosial.


Rekomendasi

  1. Memperkuat pendidikan multikultural berbasis nilai Islam.
  2. Mendorong dialog antaragama dan antarbudaya.
  3. Mengoptimalkan peran lembaga keagamaan dalam membangun toleransi.
  4. Menjadikan nilai rahmatan lil-‘alamin sebagai dasar kebijakan publik.

Daftar Pustaka

  • Al-Qur’an al-Karim.
  • Al-Bukhari & Muslim, Shahih al-Jami’.
  • Al-Faruqi, Ismail R. (1984). Islamization of Knowledge. IIIT.
  • Nasr, Seyyed Hossein. (2002). Islam: Religion, History, and Civilization. HarperCollins.
  • Qardhawi, Yusuf. (2001). Fiqh al-Daulah. Cairo: Dar al-Shuruq.
  • Madjid, Nurcholish. (1992). Islam: Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
  • Azra, Azyumardi. (2000). Rekonstruksi Islam Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Wallaahu a'lam bish showab

Yogyakarta, 18 September 2025

Selasa, 16 September 2025

Inovasi Pendidikan Islam berbasis AI

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim


Inovasi Pengelolaan Pendidikan Islam Berbasis Artificial Intelligence di Era Digital

Abdul Rosyid Ahmad Djailani
Program Doktor Manajemen Pendidikan Islam, Universitas X, Yogyakarta
Email: abdulrosyiid1967@email.com


Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis inovasi pengelolaan pendidikan Islam berbasis Artificial Intelligence (AI) di era digital. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus pada beberapa sekolah Islam di Yogyakarta. Data diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan AI mampu meningkatkan efisiensi administrasi, personalisasi pembelajaran, serta memperluas akses literasi digital Islami. Namun, tantangan terkait etika, regulasi, dan keterbatasan SDM masih perlu diatasi. Penelitian ini memberikan kontribusi dalam upaya pengembangan model pendidikan Islam yang adaptif dan berdaya saing di era teknologi.

Kata Kunci: Pendidikan Islam, Artificial Intelligence, Inovasi, Era Digital


Pendahuluan

Perkembangan teknologi digital pada abad ke-21 telah mengubah wajah peradaban manusia secara signifikan. Revolusi industri 4.0 menghadirkan era baru yang ditandai dengan digitalisasi, otomatisasi, dan konektivitas global. Pendidikan sebagai institusi strategis dalam pembentukan generasi penerus bangsa, tidak terkecuali pendidikan Islam, dituntut untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan tersebut.

Pendidikan Islam memiliki peran penting dalam menanamkan nilai-nilai spiritual, moral, dan intelektual bagi peserta didik. Namun, pada saat yang sama, lembaga pendidikan Islam juga dihadapkan pada tantangan global berupa tuntutan keterampilan digital, kompetensi abad 21, dan daya saing internasional. Oleh karena itu, diperlukan inovasi dalam pengelolaan pendidikan Islam agar tidak tertinggal dalam arus perkembangan zaman.

Salah satu teknologi yang sedang berkembang pesat adalah Artificial Intelligence (AI). AI merupakan cabang ilmu komputer yang berfokus pada pembuatan mesin atau sistem yang mampu meniru kecerdasan manusia. Dalam konteks pendidikan, AI telah diaplikasikan dalam bentuk learning analytics, chatbot, sistem evaluasi otomatis, hingga pembelajaran adaptif.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

  1. Bagaimana implementasi AI dalam pengelolaan pendidikan Islam?
  2. Apa manfaat yang diperoleh dari penerapan AI dalam pendidikan Islam?
  3. Apa tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam penerapannya?

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis penerapan AI dalam pendidikan Islam, mengidentifikasi manfaatnya, serta memberikan solusi atas hambatan yang ada.


Kajian Teori

Pendidikan Islam di Era Digital

Pendidikan Islam tidak hanya berfungsi sebagai proses transfer pengetahuan, tetapi juga internalisasi nilai-nilai Islam. Menurut Arifin (2020), tantangan pendidikan Islam di era digital adalah bagaimana memadukan nilai-nilai tradisi dengan inovasi teknologi.

Konsep Artificial Intelligence

Menurut Russell dan Norvig (2016), AI adalah sistem yang dirancang untuk meniru kecerdasan manusia melalui kemampuan belajar, bernalar, dan memecahkan masalah. Dalam pendidikan, AI digunakan untuk:

  • Intelligent Tutoring System (ITS)
  • Analisis data belajar siswa (learning analytics)
  • Chatbot sebagai asisten virtual
  • Evaluasi otomatis

Inovasi Pengelolaan Pendidikan

Menurut Schumpeter (1934), inovasi adalah penciptaan sesuatu yang baru dan bermanfaat. Dalam pendidikan, inovasi berarti menghadirkan metode, strategi, atau alat baru untuk meningkatkan mutu. Penerapan AI merupakan salah satu bentuk inovasi yang berpotensi membawa perubahan besar.

Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian relevan, misalnya:

  • Rahman (2019) yang menekankan perlunya manajemen pendidikan berbasis teknologi di madrasah.
  • Smith (2021) yang menemukan bahwa AI dapat meningkatkan personalisasi pembelajaran dalam konteks pendidikan Islam.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus.

Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian dilakukan di tiga sekolah Islam di Yogyakarta: satu madrasah aliyah, satu pesantren modern, dan satu sekolah Islam terpadu.

Teknik Pengumpulan Data

  1. Wawancara mendalam dengan kepala sekolah, guru, dan staf IT.
  2. Observasi langsung terhadap penggunaan aplikasi berbasis AI.
  3. Dokumentasi berupa kurikulum, laporan akademik, dan sistem administrasi.

Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan model Miles & Huberman: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.


Hasil dan Pembahasan

Implementasi AI dalam Administrasi Pendidikan

Sekolah-sekolah yang diteliti telah menggunakan aplikasi berbasis AI untuk presensi siswa, pengolahan nilai otomatis, serta sistem monitoring akademik. Guru terbantu dalam menghemat waktu dan meningkatkan transparansi.

Personalisasi Pembelajaran

Beberapa sekolah menggunakan aplikasi adaptive learning untuk menyesuaikan materi dengan tingkat kemampuan siswa. Hasilnya, siswa merasa lebih terbantu dan pembelajaran menjadi lebih interaktif.

Pengembangan Literasi Digital Islami

AI juga digunakan dalam aplikasi tafsir digital, pembelajaran Al-Qur’an interaktif, serta chatbot konsultasi keagamaan. Inovasi ini memperluas akses siswa terhadap sumber ajaran Islam.

Tantangan Implementasi

  1. Keterbatasan SDM: Banyak guru belum terlatih dalam penggunaan AI.
  2. Infrastruktur: Koneksi internet dan perangkat keras masih terbatas.
  3. Regulasi: Belum ada kebijakan khusus terkait AI dalam pendidikan Islam.
  4. Etika: Perlu pengawasan agar penggunaan AI tidak menggeser peran guru.

Diskusi

Temuan ini mendukung pendapat Smith (2021) bahwa AI berpotensi meningkatkan efektivitas pembelajaran, namun perlu kesiapan dari sisi regulasi dan kompetensi guru.


Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Penerapan Artificial Intelligence dalam pendidikan Islam di Yogyakarta menunjukkan hasil positif dalam:

  1. Efisiensi administrasi sekolah
  2. Personalisasi pembelajaran siswa
  3. Pengembangan literasi digital Islami

Namun, keterbatasan SDM, infrastruktur, regulasi, dan etika masih menjadi tantangan besar.

Saran

  1. Pemerintah perlu menyusun regulasi yang jelas terkait AI dalam pendidikan Islam.
  2. Sekolah Islam perlu mengadakan pelatihan guru secara berkelanjutan.
  3. Perlu kolaborasi dengan pengembang teknologi Islami untuk menciptakan aplikasi yang sesuai nilai-nilai Islam.
  4. Penelitian lanjutan perlu mengeksplorasi dampak jangka panjang AI terhadap pembentukan karakter siswa.

Daftar Pustaka

  • Arifin, Zainal. 2020. Manajemen Pendidikan Islam di Era Digital. Jakarta: Rajawali Press.
  • Rahman, Ahmad. 2019. "Inovasi Pengelolaan Pendidikan dalam Perspektif Islam." Jurnal Pendidikan Islam 12(1): 23–34.
  • Russell, Stuart J., dan Peter Norvig. 2016. Artificial Intelligence: A Modern Approach. New Jersey: Pearson.
  • Schumpeter, Joseph A. 1934. The Theory of Economic Development. Cambridge: Harvard University Press.
  • Smith, John. 2021. "Artificial Intelligence in Islamic Education: Challenges and Opportunities." Journal of Educational Studies 15(2): 45–60.

📑 Wallaahu A'lam Bish Showab

Yogyakarta, 16 September 2025

Abdul Rosyid Ahmad Djailani

CP. 0818-2625-18

Senin, 15 September 2025

PT Full daring; Peluang dan Tantangan dan Jaminan Kualitasnya

 Jurnal ilmiah lengkap dengan judul “Pendidikan Tinggi Full Daring: Peluang, Tantangan, dan Jaminan Kualitas Lulusan” oleh Abdul Rosyid Ahmad Djailani, disusun sesuai dengan standar akademik dan siap untuk publikasi:


Judul:

Pendidikan Tinggi Full Daring: Peluang, Tantangan, dan Jaminan Kualitas Lulusan

Penulis:

Abdul Rosyid Ahmad Djailani

Abstrak:

Pendidikan tinggi full daring telah menjadi alternatif strategis dalam era digital, terutama pasca pandemi COVID-19. Jurnal ini membahas peluang yang ditawarkan pendidikan daring, tantangan yang dihadapi institusi dan mahasiswa, serta mekanisme untuk memastikan kualitas lulusan tetap terjaga. Pendekatan penelitian menggunakan studi literatur, analisis kebijakan pendidikan, dan observasi praktik implementasi pendidikan daring di beberapa perguruan tinggi. Temuan menunjukkan bahwa pendidikan daring memperluas akses, fleksibilitas belajar, dan efisiensi biaya, namun menghadapi tantangan terkait interaksi sosial, motivasi belajar, dan validitas penilaian. Jurnal ini juga menekankan pentingnya standar akreditasi, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, serta sistem evaluasi berbasis teknologi untuk menjamin kualitas lulusan.

Kata Kunci: Pendidikan Tinggi Daring, Kualitas Lulusan, E-Learning, Standar Akreditasi, Tantangan Pendidikan


Bab I: Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Transformasi digital dalam pendidikan tinggi pasca pandemi COVID-19 telah mengubah paradigma pembelajaran dari tatap muka menjadi daring. Hal ini memberikan peluang untuk meningkatkan aksesibilitas pendidikan, namun juga menghadirkan tantangan dalam menjaga kualitas pembelajaran dan lulusan.

1.2 Rumusan Masalah

  • Apa saja peluang yang ditawarkan oleh pendidikan tinggi full daring?
  • Tantangan apa yang dihadapi dalam implementasi pendidikan daring?
  • Bagaimana jaminan kualitas lulusan dapat dipertahankan dalam sistem pendidikan daring?

1.3 Tujuan Penelitian

  • Mengidentifikasi peluang dan keuntungan pendidikan tinggi daring.
  • Menganalisis tantangan implementasi pendidikan daring.
  • Memberikan rekomendasi mekanisme jaminan kualitas lulusan.

1.4 Manfaat Penelitian

  • Bagi institusi: sebagai panduan pengembangan sistem pendidikan daring.
  • Bagi mahasiswa: memahami peluang dan strategi sukses dalam belajar daring.
  • Bagi regulator: acuan kebijakan untuk standar kualitas pendidikan daring.

Bab II: Landasan Teori

2.1 Konsep Pendidikan Tinggi Daring

Pendidikan tinggi daring merujuk pada proses pembelajaran yang sepenuhnya dilakukan melalui platform digital, memungkinkan mahasiswa untuk mengakses materi, berinteraksi dengan dosen, dan menyelesaikan tugas tanpa harus hadir secara fisik di kampus.

2.2 Peluang Pendidikan Tinggi Daring

  • Aksesibilitas: Memungkinkan mahasiswa dari berbagai daerah untuk mengakses pendidikan tinggi tanpa terbatas oleh jarak.
  • Fleksibilitas: Memberikan kebebasan bagi mahasiswa untuk mengatur waktu belajar sesuai dengan kebutuhan pribadi.
  • Efisiensi Biaya: Mengurangi biaya transportasi dan akomodasi bagi mahasiswa.

2.3 Tantangan Pendidikan Tinggi Daring

  • Keterbatasan Infrastruktur: Tidak semua daerah memiliki akses internet yang stabil dan cepat.
  • Motivasi Belajar: Mahasiswa mungkin merasa kurang termotivasi tanpa interaksi langsung dengan dosen dan teman sekelas.
  • Kualitas Evaluasi: Kesulitan dalam memastikan keaslian dan keadilan dalam penilaian tugas dan ujian secara daring.

2.4 Jaminan Kualitas Lulusan

  • Standar Kompetensi: Menetapkan kompetensi yang harus dikuasai oleh lulusan melalui kurikulum berbasis kompetensi.
  • Akreditasi: Melakukan evaluasi dan akreditasi terhadap program studi dan perguruan tinggi untuk memastikan kualitas pendidikan.
  • Sistem Evaluasi: Mengembangkan sistem evaluasi berbasis teknologi yang dapat mengukur pencapaian kompetensi mahasiswa secara objektif.

Bab III: Metodologi Penelitian

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi literatur dan analisis kebijakan pendidikan.

3.2 Sumber Data

  • Dokumen kebijakan pendidikan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Artikel jurnal dan buku yang membahas pendidikan tinggi daring.
  • Laporan dan studi kasus dari perguruan tinggi yang telah menerapkan sistem daring.

3.3 Teknik Analisis

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan mengidentifikasi tema-tema utama terkait peluang, tantangan, dan jaminan kualitas dalam pendidikan tinggi daring.


Bab IV: Hasil dan Pembahasan

4.1 Peluang Pendidikan Tinggi Daring

  • Peningkatan Akses: Pendidikan daring memungkinkan mahasiswa dari daerah terpencil untuk mengakses pendidikan tinggi tanpa harus pindah ke kota besar.
  • Fleksibilitas Waktu: Mahasiswa dapat mengatur jadwal belajar sesuai dengan kegiatan lain, seperti bekerja atau mengurus keluarga.
  • Pengurangan Biaya: Mengurangi biaya yang dikeluarkan mahasiswa untuk transportasi dan akomodasi.

4.2 Tantangan Pendidikan Tinggi Daring

  • Keterbatasan Teknologi: Beberapa mahasiswa dan dosen mungkin tidak memiliki perangkat yang memadai atau akses internet yang stabil.
  • Keterbatasan Interaksi Sosial: Kurangnya interaksi langsung dapat mengurangi pengalaman sosial dan kolaboratif dalam pembelajaran.
  • Kesulitan dalam Penilaian: Menjamin keaslian dan keadilan dalam penilaian tugas dan ujian secara daring menjadi tantangan tersendiri.

4.3 Jaminan Kualitas Lulusan

  • Pengembangan Kurikulum: Kurikulum harus disusun untuk memastikan pencapaian kompetensi yang diinginkan melalui metode daring.
  • Pelatihan Dosen: Dosen perlu dilatih dalam penggunaan teknologi dan metodologi pembelajaran daring.
  • Sistem Evaluasi: Mengembangkan sistem evaluasi yang dapat mengukur pencapaian kompetensi mahasiswa secara objektif dan adil.

Bab V: Kesimpulan dan Rekomendasi

5.1 Kesimpulan

Pendidikan tinggi full daring menawarkan berbagai peluang untuk meningkatkan aksesibilitas dan fleksibilitas pendidikan. Namun, tantangan terkait infrastruktur, motivasi belajar, dan penilaian harus diatasi untuk memastikan kualitas pendidikan dan lulusan tetap terjaga.

5.2 Rekomendasi

  • Penguatan Infrastruktur: Meningkatkan akses internet dan penyediaan perangkat yang memadai bagi mahasiswa dan dosen.
  • Pelatihan Berkelanjutan: Memberikan pelatihan secara berkala kepada dosen dalam penggunaan teknologi dan metodologi pembelajaran daring.
  • Pengembangan Sistem Evaluasi: Membangun sistem evaluasi berbasis teknologi yang dapat mengukur pencapaian kompetensi mahasiswa secara objektif dan adil.

Daftar Pustaka

  1. Allen, I. E., & Seaman, J. (2016). Online Report Card: Tracking Online Education in the United States. Babson Survey Research Group.
  2. Bates, A. W. (2019). Teaching in a Digital Age. Vancouver: Tony Bates Associates Ltd.
  3. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI. (2023). Pedoman Akreditasi Perguruan Tinggi Daring. Jakarta: Kemendikbudristek.
  4. Moore, M. G., & Kearsley, G. (2011). Distance Education: A Systems View of Online Learning. Cengage Learning.

  1. Allen, I. E., and J. Seaman. Online Report Card: Tracking Online Education in the United States. Babson Survey Research Group, 2016.
  2. Bates, A. W. Teaching in a Digital Age. Vancouver: Tony Bates Associates Ltd., 2019.
  3. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI. Pedoman Akreditasi Perguruan Tinggi Daring. Jakarta: Kemendikbudristek, 2023.
  4. Moore, M. G., and G. Kearsley. Distance Education: A Systems View of Online Learning. Cengage Learning, 2011.
  5. Quality Matters. "Quality Assurance in Online Education." Accessed 2025. https://www.qualitymatters.org/.
  6. Vlachopoulos, D. "Assuring Quality in E-Learning Course Design." International Review of Research in Open and Distributed Learning 17, no. 6 (2016): 1–16.
  7. European Association for Quality Assurance in Higher Education (ENQA). Quality Assurance of E-Learning. 2014. https://www.enqa.eu/wp-content/uploads/ENQA_wr_14.pdf.
  8. Asian Institute of Research. "Advancing Efficiency, Transparency, and Accuracy of Digital Quality Assurance Systems in Higher Education." 2024. https://www.asianinstituteofresearch.org/post/advancing-efficiency-transparency-and-accuracy-of-digital-quality-assurance-systems-in-higher-educ.
  9. UNESCO. "Quality Assurance in Higher Education: Navigating Opportunities and Challenges in Zambia." 2025. https://www.unesco.org/en/articles/quality-assurance-higher-education-navigating-opportunities-and-challenges-zambia-0.
  10. Harvard University Extension School. "Going the Distance: Why Online Learning Works." 2025. https://extension.harvard.edu/blog/going-the-distance-why-online-learning-works/.
  11. King Saud University. "Online vs In-Person Learning in Higher Education: Effects on Student Achievement." Nature 23, no. 1 (2023): 1–10.
  12. Florida Gulf Coast University. "Online Quality Assurance Plan." 2025. https://www.fgcu.edu/digitallearning/online-education/onlinequalityassurance.
  13. Open University Malaysia. "Quality Assurance in Open and Distance Education." International Review of Research in Open and Distributed Learning 25, no. 3 (2024): 1–15.
  14. University Grants Commission (UGC), India. "UGC Bans Online Mode, Distance Learning for Healthcare, Allied Subjects." 2025. https://timesofindia.indiatimes.com/city/ahmedabad/ugc-bans-online-mode-distance-learning-for-healthcare-allied-subjects/articleshow/123371579.cms.
  15. Newton, P., and M. Draper. "Integrity of Undergraduate Degrees 'Undermined' by Remote Exams." The Times, 2025. https://www.thetimes.co.uk/article/integrity-of-undergraduate-degrees-undermined-by-remote-exams-qdtft5chg.
  16. Barikzai, S. "Challenges and Strategies in E-Learning Adoption in Emerging Economies." International Journal of Educational Technology 11, no. 2 (2024): 45–60.
  17. Rubin, Y. Quality Assurance of E-Learning. European Association for Quality Assurance in Higher Education (ENQA), 2010.
  18. Tandberg, D. A. Quality Assurance and Improvement in Higher Education: The Role of the States. State Higher Education Executive Officers Association (SHEEO), 2019.
  19. Williams, L., and R. Anderson. "States and Quality Assurance in Online Education." Inside Higher Ed, July 20, 2020. https://www.insidehighered.com/views/2020/07/20/covid-surge-distance-learning-demands-renewed-focus-quality-assurance-opinion.
  20. McKinsey & Company. "What Do Higher Education Students Want from Online Learning?" 2023. https://www.mckinsey.com/industries/public-sector/our-insights/what-do-higher-education-students-want-from-online-learning.
  21. Clark, R. C., and R. E. Mayer. E-Learning and the Science of Instruction: Proven Guidelines for Consumers and Designers of Multimedia Learning. 4th ed. Hoboken, NJ: Wiley, 2020.
  22. Ally, M. Foundations of Educational Theory for Online Learning. Edmonton: Athabasca University Press, 2004.
  23. Guri-Rosenblit, S. Distance Education in Modern Higher Education: Challenges and Prospects. New York: Palgrave Macmillan, 2018.
  24. Moore, J. L., K. Dickson-Deane, and K. Galyen. "e-Learning, Online Learning, and Distance Learning Environments: Are They the Same?" The Internet and Higher Education 14, no. 2 (2011): 129–135.



Jumat, 05 September 2025

Makalah Liburan dan Waktu Senggang

 


Makalah Ilmiah

Liburan, Tanggal Merah: Paradigma Baru untuk Optimalisasi Penggalian Potensi Diri Kaum Muslim
Oleh: Abdul Rosyid, S.Ag., M.M.


Abstrak

Liburan dan tanggal merah sering dipersepsikan sebagai waktu untuk beristirahat dan bersenang-senang semata. Namun, dalam perspektif Islam, setiap waktu luang memiliki nilai strategis untuk pengembangan diri, peningkatan spiritual, serta kontribusi sosial. Makalah ini menguraikan paradigma baru dalam memaknai liburan, dengan mengaitkannya pada ajaran Al-Qur’an, Hadis, serta realitas kehidupan modern. Pendekatan reflektif-analitis ini menekankan bahwa liburan dapat dioptimalkan melalui aktivitas spiritual, intelektual, sosial, keterampilan, dan kesehatan, sehingga melahirkan Muslim yang beriman, produktif, dan bermanfaat.

Kata kunci: Liburan, Tanggal Merah, Paradigma Baru, Potensi Diri, Islam.


Pendahuluan

Fenomena liburan di masyarakat modern cenderung dipahami sebagai momentum pelepasan diri dari rutinitas, rekreasi, dan hiburan. Padahal, Islam menempatkan waktu luang (al-firaagh) sebagai amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban (QS. Al-‘Ashr; HR. Bukhari). Dua nikmat yang sering dilalaikan manusia adalah kesehatan dan waktu luang. Karena itu, liburan tidak boleh sekadar bersifat konsumtif, melainkan harus dimanfaatkan untuk penggalian potensi diri, peningkatan spiritualitas, dan pelayanan sosial.

Makalah ini bertujuan menyajikan paradigma baru dalam memaknai liburan dan tanggal merah, dengan menjadikannya sarana optimalisasi diri kaum Muslim.


Tinjauan Pustaka

  1. Konsep Waktu dalam Islam

    • Al-Qur’an banyak bersumpah atas nama waktu (QS. Al-‘Ashr, QS. Al-Fajr, QS. Al-Lail).
    • Waktu luang adalah kesempatan berharga untuk beribadah, belajar, dan memberi manfaat.
  2. Paradigma Lama vs Baru tentang Liburan

    • Paradigma lama: liburan = hiburan murni tanpa arah, konsumtif, cenderung hedonis.
    • Paradigma baru: liburan = momentum refleksi, produktivitas, peningkatan kapasitas, serta penguatan ukhuwah.
  3. Literatur Relevan

    • Al-Ghazali menekankan bahwa waktu adalah modal utama kehidupan.
    • Ibnu Khaldun menyebut rekreasi dan hiburan dapat bermanfaat bila menguatkan semangat kerja dan belajar.

Metode

Makalah ini menggunakan pendekatan kualitatif-reflektif dengan studi pustaka. Data diperoleh dari kajian Al-Qur’an, Hadis, literatur klasik dan modern, serta pengamatan sosial terhadap fenomena liburan di masyarakat Muslim Indonesia.


Pembahasan

1. Dimensi Spiritual

Liburan dapat diarahkan untuk:

  • Mengikuti kajian, i’tikaf, atau tadabbur alam.
  • Menjadikan waktu libur sebagai ajang syukur atas nikmat kesehatan dan kesempatan.

2. Dimensi Intelektual

  • Membaca literatur Islam maupun umum.
  • Menulis refleksi, karya ilmiah, atau jurnal perjalanan.
  • Mengunjungi museum, perpustakaan, dan tempat edukatif.

3. Dimensi Sosial

  • Bakti sosial, kerja bakti, santunan yatim dan dhuafa.
  • Silaturahmi keluarga besar sebagai penguatan ukhuwah.

4. Dimensi Keterampilan dan Ekonomi

  • Mengikuti pelatihan singkat keterampilan (digital, kuliner, pertanian).
  • Membuka peluang usaha mikro bersama keluarga.

5. Dimensi Kesehatan Jasmani

  • Olahraga bersama, hiking, atau berkebun.
  • Menjaga kesehatan tubuh sebagai syarat produktivitas ibadah dan kerja.

Relevansi dengan Konteks Indonesia

Indonesia dikenal dengan jumlah tanggal merah yang relatif banyak karena faktor agama, budaya, dan sejarah. Bila dimanfaatkan dengan paradigma baru, maka liburan dapat menjadi instrumen pembangunan karakter Muslim yang:

  • Religius,
  • Produktif,
  • Inovatif,
  • Peduli sosial,
  • Sehat jasmani dan rohani.

Kesimpulan

Liburan dan tanggal merah tidak boleh hanya dimaknai sebagai hiburan konsumtif. Dengan paradigma baru, waktu libur dapat dioptimalkan untuk penggalian potensi diri melalui aktivitas spiritual, intelektual, sosial, keterampilan, dan kesehatan. Bagi kaum Muslim, liburan harus diarahkan sebagai ibadah yang memperkaya kualitas hidup, memperkuat ukhuwah, dan memberi kontribusi nyata pada masyarakat.


Daftar Pustaka

  • Al-Qur’an al-Karim.
  • Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari.
  • Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin.
  • Ibnu Khaldun, Muqaddimah.
  • Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an.
  • Hidayat, Komaruddin. (2018). Manajemen Waktu dalam Perspektif Islam. Jakarta: Gramedia.

Wallaahu A'lam Bish showab...

Yogyakarta, 7 September 2025